Beranda | Artikel
Musa Ash Shadr, Penganut Agama Syiah
Rabu, 23 Januari 2008

MUSA ASH-SHADR, PENGANUT AGAMA SYI’AH

Oleh
Ustadz Abu Minhal

Peperangan di wilayah Libanon pada pertengahan 2006M seakan menorehkan kegetiran. Sebuah pertempuran yang konon “dimenangkan” oleh Hizbullah atas Yahudi telah menyihir kaum Muslimin, yang pada umumnya terpesona dengan kemenangan kelompok tersebut. Bahkan sebuah media massa Islam, edisi September 2006 dalam salah satu rubriknya, telah mengulas dan memberikan sanjungan terhadap Musa ash Shadr, salah satu tokoh Syi’ah yang memiliki benang merah dengan Hizbullah.

Oleh karena itu, sebagai kaum Muslimin, kita harus waspada. Betapa tidak? Hizbullah yang merupakan pasukan milik kaum Syi’ah di Libanon itu, tentu tetap mengusung aqidah Syi’ah. Yang dalam perjalanannya, Syi’ah sangat memusuhi Ahlu Sunnah, atau kaum Muslimin secara umum. Semestinya kita bersikap kritis dan waspada, bukan justru tertipu dengan menyanjungnya.

Tulisan berikut hanyalah mengungkap sedikit tentang Musa ash Shadr, yang merupakan tokoh penting sebagai pendahulu munculnya gerakan Syi’ah di Libanon yang kini populer. Lebih jauh tentang data-data empirisnya, bisa dikaji dalam kitab Wa Ja`a Daurul-Majus, karangan Dr. ‘Abdullah bin Muhammad Gharib, Cet. VI, Th. 1408 H – 1988 M, tanpa penerbit.

SIAPAKAH MUSA ASH SHADR?
Dia adalah Musa bin Shadruddin ash Shadr. Meski hidup di pentas Negara Libanon, tetapi ia ternyata seorang keturunan Iran dan berkewarganegaraan Iran pula. Dia lahir pada tahun 1928 M. Menyelesaikan studinya di Universitas Teheran, Fakultas Hukum, Ekonomi dan Politik. Dari latar belakang pendidikannya tersebut, kita dapat mengetahui, ia bukanlah seorang ulama Syi’ah, namun lebih tepat disebut sebagai seorang politikus. Para pengikutnya tidak menerima pernyataan ini. Mereka pun melakukan pembelaan terhadapnya dan meneriakkan, bahwa setelah lulus dari Teheran, Musa ash Shadr menimba ilmu agama di Najef, yaitu berguru kepada Khumaini. [Lihat Wa Ja`a Daurul-Majus, Dr. ‘Abdullah al Gharib, halaman 409].

Hubungannya dengan Khomaini sangat erat. Ahmad, putra Khomainimenikahi kemenakan perempuan Musa Shadr. Sedangkan kemenakan lelakinya kawin dengan cucu Khomaini.

Musa ash Shadr berimigrasi ke Libanon pada tahun 1958, dengan menyandang status sebagai seorang ulama yang didelegasikan dari Najef untuk menghidupkan aktifitas keagamaan di kalangan orang-orang Syi’ah Libanon.

Di Libanon, Musa Shadr menjumpai kondisi yang sangat kondusif. Pimpinan Libanon Fuad Syihab memberinya berbagai fasilitas. Di antaranya kemudahan mendapatkan kewarganegaraan Libanon, yang sebenarnya sulit diraih oleh orang non Nashara. Faktanya, masih banyak suku dan penduduk yang bermukim di sana sejak lama belum berhasil mendapatkan kewarganegaraan Libanon, karena bukan penganut Nashara. Akan tetapi berbeda dengan Musa Shadr. Aneh, dia begitu mudah mendapatkan kewarganegaraan Libanon, padahal merupakan pendatang yang baru saja menginjakkan kakinya di bumi Libanon.

Seperti dinyatakan oleh Dr. Musa al Musawi yang juga seorang politikus, bahwa pada tahun 1958 M, Jendral Bakhtiar, Panglima Angkatan Bersenjata Iran mengutus Musa ash Shadr ke Libanon, membekalinya dengan bekal finansial yang dibutuhkan. Setelah sepuluh tahun, Musa ash Shadr menduduki pimpinan majlis tinggi Syi’ah di Libanon. Pemerintah Iran telah menganggarkan satu juga lira Libanon untuk tujuan tersebut.

Pada tahun 1969 M, ia mendirikan Majlis Tinggi Syi’ah dan langsung memimpinnya. Sejak itu, suara kaum Syi’ah berpengaruh di percaturan politik Libanon. Musa ash Shadr pun membangun sekolah-sekolah dan gelanggang pertemuan sebagai markas kegiatan-kegiatan politiknya yang terselubung.

ORGANISASI PERLAWANAN LIBANON (AMAL)
Pendirian AMAL (Afwajul-Muqamawatil-Lubnaniyyah), merupakan langkah Musa ash Shadr berikutnya. Gerakan ini sebagai sayap militer bagi orang-orang yang terpinggirkan (harakah mahrumin yang ia dirikan) di Libanon (baca, Syi’ah) dan guna mempertahankan kepentingan-kepentingan di sana.

Sebelumnya, sayap militer ini merupakan gerakan di bawah tanah. Namun, pasca meledaknya sebuah granat di kamp latihan mereka, eksistensinya pun disosialisasikan. Padahal sebelumnya, Musa ash Shadr termasuk orang yang menentang mempersenjatai warga sipil.

PEMIKIRAN DAN KEYAKINAN AMAL
Disebutkan dalam al Mausu’ah (1/442), gerakan Afwajul-Muqamawatil-Lubnaniyyah (AMAL), adalah sebuah gerakan yang mengadopsi aqidah Syi’ah dan madzhab Ja’fari dalam seluruh keyakinannya. Pemberontakan dan perlawanan bersenjata menjadi salah satu dasar pendirian gerakan ini. Namun yang layak dipertanyakan ialah, perlawanan kepada siapa?

Kalau melakukan perlawanan kepada Nashara, maka tidak mungkin, lantaran Nashara telah membuka pintu di Libanon bagi AMAL. Dan bukan juga untuk melawan kekuatan Zionisme Yahudi. Sebab, Musa ash Shadr pernah mengatakan : “Kami tidak sedang dalam kondisi peperangan dengan Israil (Yahudi)…”.

Bila bukan Nashara ataupun Yahudi, maka tidak ada lawan yang tersisa, kecuali Ahli Sunnah dan organisasi-organisasi milik warga Pelestina yang ia anggap mewakili Ahli Sunnah, dan berpotensi menjadi duri bagi mereka.

Untuk mengelabui khalayak, ia mengusung motto humanis palsu bagi organisasinya ini, seperti beriman kepada Allah, menghidupkan budaya Libanon, menegakkan keadilan sosial, terutama di wilayah Libanon bagian selatan yang tersebar opini adanya jalinan kerja sama antara pembesar AMAL dengan Yahudi. Begitu pula fakta menunjukkan, jika gerakan ini menjalin hubungan dengan dunia luar. Ini menjadi jelas, dengan adanya kerja sama dengan musuh Islam untuk menghantam kaum Muslimin Sunni di Libanon. Pendanaan baginya dari luar tetap mengalir lancar, kendati muncul gerakan militer baru Syi’ah, yaitu Hizbullah di Libanon yang berafiliasi kepada Iran.

Dari berbagai pemikirannya, dapat disimpulkan (Al Mausu’ah, 1/443), bahwa organisasi AMAL di Libanon bukan merupakan gerakan agama, tetapi merupakan gerakan sekulerisme dan untuk memfasilitasi kaum Syi’ah yang terpinggirkan di sana. Orientasinya sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Penetapan orientasi gerakan ini dilakukan oleh 180 pemikir Libanon yang mayoritas beragama Nashara.

Selain itu, organisasi ini justru mendukung kekuatan militer Yahudi di Beirut Barat di Selatan Libanon untuk menyikat penduduk Palestina.

Dengan sedikit catatan tentang dirinya, apakah sepantasnya seorang Musa ash Shadr dielu-elukan dan disanjung? Tentu jawabnya, tidak!

Meski katanya Hizbullah merayakan “kemenangan”, namun pantaslah bagi kita untuk mengajukan sejumlah pertanyaan. Apakah disebut kemenangan, bila peperangan tersebut menimbulkan kerusakan infrastruktur di Libanon yang sangat parah? Sementara kerugian yang diderita pihak “musuh”, yaitu Yahudi tidak nampak? Apakah disebut kemenangan jika penduduk sipil Libanon hingga mencapai 1500 jiwa justru menjadi korban akibat peperangan yang digelorakan Hizbullah? Kemenangan seperti apakah yang mereka rayakan, kalau bukan karena berhasil menghancurkan Libanon dengan menebar opini kamuflase melawan Yahudi? Bukankah perjalanan sejarah menunjukkan, bahwa Syi’ah sangat kuat pertentangannya terhadap Ahlu Sunnah? Maka, bagaimana mungkin kita menyambutnya dengan pujian kepada mereka? Sungguh mustahil!

Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memelihara diri kita dari tipu daya musuh, dengan segala muslihatnya. Allahul-Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2327-musa-ash-shadr-penganut-agama-syiah.html